Ombak samudera tak hentinya menerpa kapal. Aku yang tak biasa, merasakan seisi perut terus saja mengobrak abrik ingin dikeluarkan. Olesan cairan eucalyptus cukup membantu menenangkan isi perut yang kurang ajar terhadap tuannya ini. Para kompeni pribumi banyak mengirim warta memaksa hamba sahaya ini untuk lekas kembali ’mem-babu’. Baru beberapa pekan, nampaknya kompeni itu sudah tak sanggup menahan rindu ya. Nasib budak rantau yang disayang tuannya, begitu dirindukan bahkan saat meminta cuti nak meminang. Pikirnya budak kumus ini tak ingin berkasih?
Aku menginjakkan kaki di pelabuhan Segintung. Tanpa menunggu lama nampak dua orang dengan sigap membantuku memikul kardus yang di tenteng sejak dari kapal. Dua anak buah yang ikut bekerja dalam usahaku di Sampit, Agus dan Bagus terlihat begitu ramah menyapa. Mereka adalah dua remaja yang harus keluar dari sekolah karena kondisi ekonomi yang menghimpit. Tanpa rasa terpuruk yang berkepanjangan, mereka ikut merantau dan membangun bisnis bersamaku di Sampit. Walaupun di tahun-tahun pertama kami harus menjadi kuli panggul. Bagus dan Agus bergerak dengan sigap melempar barang bawaan ke atas bus, mempersilakan tuannya memilih bangku bus sesuka hatinya. Perjalanan dari pelabuhan ke rumah menghabiskan waktu sekitar 4 jam. Aku tidak terlalu terpaku pada panorama sekitar, waktu kuhabiskan untuk bercengkrama hangat dan beristirahat.
”Matayo, akhirnya kamu sudah sampai yaa! Karena sudah sukses jangan sampai lupa berkunjung dong. Bagaimana bisa bisnismu kau tinggal begitu saja.” belum selangkah Aku melangkahkan kaki di teras rumah, ’mantan bos’ ku saat menjadi kuli panggul, Rian sudah berteriak panjang lebar dari dalam sambil berkacak pinggang. ”Aku masih ingin bercinta dengan pinanganku, tapi tiada hari aku lalui tanpa surat darimu. Aku lelah jadi biarkan budak ini masuk dan menghela nafas dari atas sofa” wajah lesu nampak jelas dari rautku. ”Istirahatlah dulu, nanti malam aku harus bercerita banyak. Diam saja dirumah, tidak perlu berkeliling dulu. Agus akan mencarikan makan malammu” Rian terlihat menyimpan banyak kemelut dalam hatinya. Jam dinding menunjukkan waktu tengah malam, aku begitu lelah dan tak ingin ambil pusing, aku mengunci pintu kamar kulemparkan tubuh di atas sofa dan terlelap dalam sekejap.
Brakkk,.. ”Bagus cepat bangunkan Matayo dan cari jalan untuk kabur”. Aku terkejut dengan suara gaduh diluar. Entah ada apa sebenarnya, tetapi kulihat rumah sudah dipenuhi api dan beberapa perabot terdengar dipecahkan dengan sengaja. Dari jauh terdengar suara Rian yang terus berteriak memohon untuk tidak ada yang mendekatiku. Sedikit bergidik aku mendekati jendela besi yang sebagian penopangnya telah terlalap api. Aku mengintip diluar beberapa orang pribumi, Dayak mengepung rumah. ”Cak Matayo, buka pintu!” suara Bagus samar terdengar dari balik pintu. Aku yang masih tidak memahami situasi macam apa ini, memilih untuk tetap tenang dan keluar untuk mengulik informasi. Dari luar aku tidak lagi mendengar teriakan Rian, aku intip kembali dari balik jendela. Rian tersungkur ditanah dengan kepala ditebas tanpa ragu.
”Allahu Akbar, Cak Matayo dulien!”, Bagus terus berteriak dari luar sambil terus berdzikir. Dengan bergetar aku membuka kunci pintu yang terasa panas akibat lalapan api. Bagus terlihat takut dan terus menangis tak menghentikan dzikirnya. Bagus masuk ke kamar dan mengunci kembali pintu kamar. Sambil menangis Bagus mengatakan, ”Dayak Ngayau Cak…”. Belum sempat Bagus menjelaskan lebih lanjut, pintu kamar telah diobrak abrik menggunakan parang. Kami benar-benar terpojok dan tidak memiliki perlindungan maupun senjata apapun. Bagus terus memohon untuk dibebaskan, hingga benar-benar tidak lagi terdengar suara darinya. Aku yang masih tak tahu apapun, dalam keadaan siap atau tidak harus menerima takdir akhirku disini.